Selasa, 05 Januari 2010

IBAT PUTUSAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DAN KEPAILITAN TERHADAP DEBITOR,KREDITOR DAN PEMERINTAH


AKIBAT PUTUSAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DAN KEPAILITAN TERHADAP DEBITOR,KREDITOR DAN PEMERINTAH

Oleh: Rahmi Zubedah, S.H. dan Faizal, S.H.

A. Akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Debitor dan Kreditor.

1. Akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Debitor

Dengan ditetapkannya PKPU maka selama PKPU berlangsung debitor tanpa persetujuan dari pengurus tidak dapat melakukan tindakan pengurusan atas hartanya dan tidak pula berhak memindahkan hak atas sesuatu bagian dari hartanya.[1] Apabila debitor melanggar ketentuan ini, pengurus berhak untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk memastikan agar tidak terjadi kerugian terhadap harta debitor sebagai akibat tindakan debitor tersebut.[2] Kewajiban-kewajiban debitor yang timbul setelah dimulainya PKPU karena perbuatan debitor yang dilakukan debitor tanpa persetujuan dari pengurus hanya dapat dilaksanakan atas beban harta debitor sepanjang hal demikian itu menguntungkan bagi harta debitor.[3]

Dari yang diuraikan di atas, maka pada intinya debitor kehilangan kebebasannya untuk bertindak berkenaan atau yang berhubungan dengan harta kekayaannya. Setiap perbuatan debitor berkenaan dengan harta kekayaanya harus mendapatkan persetujuan dari pengurus.

2. Akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Kreditor

PKPU berakibat kreditor tidak dapat memaksa kreditor untuk membayar tagihannya. Selain itu, tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk mendapatkan pelunasan utang harus ditangguhkan. Dasar daripada hal tersebut di atas adalah ketentuan Pasal 242 ayat (1) UU KPKPU yang berbunyi:

“selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang, Debitor tidak dapat dipaksa membayar utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 UU KPKPU, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang harus ditangguhkan.”

B. Akibat Kepailitan Bagi Debitor dan Kreditor

1. Akibat kepailitan bagi Debitor

Putusan dalam keadaan pailit memberi beberapa akibat hukum bagi

debitor sebagai berikut:

a. Akibat kepailitan terhadap kewenangan debitor untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya.

Putusan pailit oleh pengadilan tidak mengakibatkan debitor kehilangan kecakapannya pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya.[4]

b. Akibat Kepailitan terhadap transfer dana

Pasal 24 ayat (3) UU KPKPU mengatur bahwa apabila sebelum putusan pailit telah dilakukan transfer dana melalui bank atau lembaga selain pada`tanggal putusan dimaksud, transfer tersebut wajib dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kelancaran dan kepastian transfer melalui bank.

a. Akibat kepailitan terhadap perikatan debitor

Apabila setelah debitor dinyatakan pailit kemudian timbul perikatan, maka perikatan debitor tersebut tidak dapat dibayar dari harta pailit.[5]

b. Akibat terhadap hukuman atas debitor

Kemungkinan setelah dinyatakan pailit, debitor mendapatkan hukuman badan yang tidak berkaitan dengan kepailitan. Dalam hal demikian maka penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.[6]

c. Akibat hukum terhadap tuntutan atas harta pailit

Dengan adanya putusan pernyataan pailit, mereka yang selama berlangsungnya kepailitan melakukan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan kepada debitor pailit, maka hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokan. Jadi mereka yang merasa sebagai kreditor apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi kepada harta pailit harus mendaftarkan piutangnya itu untuk dicocokan dalam rapat verifikasi.[7]

d. Akibat hukum terhadap eksekusi

Dengan adanya putusan pernyataan pailit, mengakibatkan segala penetapan pelaksanaan pengadilan setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan dan sejak itu tidak ada putusan yang dapat dilaksanakan termasuk menyandera debitor dan selanjutnya semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahan pencoretan. Sita yang harus dihentikan adalah eksekutoir dan conservatoir beslah. Pengecualian diberikan kepada revindicatoir beslag.

e. Akibat kepailitan terhadap penyanderaan

Debitor yang sedang dalam penyanderaan untuk membayar utang-utangnya harus dileopaskan seketika setelah pernyataan pailit diucapkan. Adanya ketentuan demikian kadang kala dimanfaatkan oleh debitor untuk mengajukan permohonan pailit. Akan tetapi ketentuan Pasal 93 UU KPKPU mengatur kemungkinan pengadilan dalam putusannya atas saran hakim pengawas atau permintaan curator atau juga permintaan para kreditor memerintahkan untuk dilakukan penahanan terhadap debitor. Penahanan tersebut bukan merupakan penyanderaan melainkan upaya untuk mencegah debitor melakukan perbuatan yang dapat merugikan kreditor.

1. Akibat Kepailitan Bagi Kreditor

Akibat Hukum dari adanya putusan dalam keadaan pailit adalah sebagai berikut:

a. Penangguhan Hak Eksekusi Kreditur Separatis[8]

Kreditor separatis sebagai kreditor yang memiliki jaminan kebendaan seperti gadai, fidusia dan hak tanggungan pada prinsipnya dapat mengeksekusi haknya seolah-oleh tidak ada kepailitan, akan tetapi dengan adanya ketentuan dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UU KPKPU maka hak eksekusi yang dimaksud di atas ditangguhkan paling lama 90 hari sejak tanggal vonis pailit dijatuhkan. Dalam masa penangguhan tersebut kreditor separatis dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi anggunan. Tujuan dari penangguhan hak eksekusi tersebut antara lain:[9]

1) untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau

2) untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau

3) untuk memungkinkan curator melaksanakan tugasnya secara optimal.

Pasal 56 ayat (3) memberikan Perlindungan bagi kreditor separatis apabila curator menggunakan atau menjual harta pailit. Perlindungan tersebut antara lain dapat berupa:

1) ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;

2) hasil penjualan bersih,

3) hak kebendaan pengganti, atau

4) imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai.

Perlindungan tersebut diperlukan karena dengan pengalihan harta pailit maka hak kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum

.

b. Akibat hukum berkenaan dengan Actio Pauliana

Kreditor sangat berkepentingan dengan harta pailit karena harta tersebut merupakan sumber dari pelunasan tagihan- tagihan mereka. Oleh karena itu mereka memiliki hak untuk mengajukan pembatalan atas perbuatan hukum debitur yang merugikan kepentingan kreditor (Actio Pauliana). Pasal 41 UU KPKPU memberikan perlindungan atas kepentingan kreditur terhadap harta pailit dari perbuatan hukum debitor dengan dapat diajukannya pembatalan perbuatan debitor tersebut kepada pengadilan oleh curator.[10] Tujuannya adalah untuk memperbanyak atau memelihara harta pailit agar para kreditor memperoleh pembayaran secara maksimal sesuai dengan jumlah yang yang dimiliki oleh para kreditor.

c. Akibat hukum berkenaan dengan tuntutan hukum kreditor terhadap debitur yang berkaitan dengan harta kekayaan debitur

Suatu tuntutan hukum yang perkaranya sedang berjalan di Pengadilan yang diajukan terhadap debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit maka tuntutan tersebut gugur demi hukum. [11] Kreditor hanya dapat mengajukan tuntutan mengenai haknya kepada kurator.[12]. Dalam tuntutan hukum yang telah berjalan sebagaimana dimaksud di atas, apabila dalam tuntutan tersebut dimohonkan sita dan dikabulkan maka sita tersebut dihapuskan.[13]

C. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan bagi Pemerintah

Dengan adanya putusan PKPU atau dalam keadaan pailit terhadap seorang debitor maka pemerintah terlibat dalam penyelesaian utang-piutang tersebut. Keterlibatan pemerintah itu bertujuan untuk memberikan perlindungan baik terhadap kreditur maupun debitor. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pengaturan PKPU dan kepailitan dalam UU KPKPU.

Keterlibatan pemerintah tersebut terwujud dari peranan hakim pengawas yang besar dalam kepailitan maupun PKPU. Hakim pengawas tersebut bertugas mengawasi penyelesaian utang-piutang dalam kepailitan dan PKPU. Kekuasaan hakim pengawas yang besar tersebut terlihat dari adanya penetapan-penetapan hakim pengawas yang tidak dapat diajukan permohonan banding. Penetapan-penetapan tersebut adalah sebagai berikut:[14]

a. Pasal 22 huruf b UU KPKPU yaitu penetapan tentang segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, itu semua tidak boleh masuk budel pailit, atau tidak termasuk yang disita;

b. Pasal 33 UU KPKPU mengenai penjualan benda milik Debitor sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan;

c. Pasal 84 ayat (3) UU KPKPU mengenai penetapan pendapat kreditor;

d. Pasal 104 ayat (2) UU KPKPU mengenai penetapan tentang izin melanjutkan usaha bagi Debitor Pailit;

e. Pasal 106 UU KPKPU yaitu penetapan tentang biaya hidup bagi debitor pailit dan keluarganya;

f. Pasal 125 ayat (1) UU KPKPU yaitu penetapan tentang pengucapan sumpah oleh kreditor atau wakilnya;

g. Pasal 127 ayat (1) UUKPKPU yaitu mengenai penetapan untuk menyelesaikan perselisihan antara curator dan kreditor di pengadilan;

h. Pasal 183 ayat (1) UU KPKPU yaitu mengenai penetapan penghentian kegiatan Debitor;

i. Pasal 184 ayat (3) UU KPKPU yaitu mengenai penetapan pemberian beberapa peralatan kepada debitor pailit;

j. Pasal 185 ayat (1) UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang penjualan semua benda di muka;

k. Pasal 185 ayat (2) UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang penjualan di bawah tangan;

l. Pasal 185 ayat (3) UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang semua benda yang tidak segera, atau sama sekali tidak dapat dibereskan;

m. Pasal 186 UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang penggunaan jasa Debitor pailit untuk keperluan pemberesan harta pailit, dengan pemberian upah kepada Debitor yang bersangkutan;

n. Pasal 188 UU KPKPU, yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang penetapan uang tunai dibagikan kepada kreditor yang piutangnya telah dicocokan;

o. Pasal 189 UU KPKPU yaitu penetapan Hakim Pengawas tentang Daftar Pembagian yang dibuat oleh Kurator.

Dalam PKPU, kewenangan Hakim Pengawas tersebut salah satunya adalah kewenangan untuk meminta pengakhiran PKPU dengan syarat yang disebutkan pada Pasal 255 UU KPKPU.


[1] Harap dilihat Pasal 240 ayat (1)UUKPKPU

[2] Harap dilihat Pasal 240 ayat (2) UUKPKPU.

[3] Harap dilihat Pasal 240 ayat (4) UUKPKPU

[4] Harap dilihat Pasal 24 UU KPKPU

[5] Harap dilihat Pasal 25 UUKPKPU

[6] Harap dilihat Pasal 26 ayat (2) UUKPKPU

[7] Harap lihat Pasal 27 UU KPKPU

[8] Kreditur separatis adalah kreditur yang memegang jaminan hak kebendaan seperti gadai, fidusia, dan hak tanggungan.

[9] Dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 56 ayat (1).

[10] Salah satu perbedaan Actio Pauliana yang diatur dalam KUH Perdata dan UU KPKPU adalah mengenai pihak yang dapat mengajukan tuntutan pembatalan tersebut. Dalam KUH Perdata, yang dapat mengajukan pembatalan adalah kreditor sedangkan dalam UU KPKPU, kuratorlah yang dapat mengajukan pembatalan tersebut untuk kepentingan harta pailit.

[11] Harap dilihat Pasal 29 UU KPKPU.

[12] Harap dilihat Pasal 26 ayat (1).

[13] Harap dilihat Pasal 31 ayat (2).

[14] Man S. Satrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 140.

KASUS KARAHA BODAS COMPANY L.L.C MELAWAN P.T. PERTAMINA DAN P.T. PLN


KASUS

KARAHA BODAS COMPANY L.L.C

MELAWAN

P.T. PERTAMINA DAN P.T. PLN

A. Para Pihak dalam Sengketa

1. Penggugat:

Karaha Bodas Company L.L.C (KBC)

Adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Kepulauan Cayman yang berkedudukan di Gedung Plaza Aminta Suite 901, Jl. T.B. Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia.

2. Tergugat

a. Tergugat 1

Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (P.T. Pertamina)

P.T. Pertamina adalah suatu perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina dan dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia.

b. Tergugat 2

P.T. Perusahaan Listrik Negara (P.T. PLN)

P.T. PLN adalah suatu perusahaan negara yang tunduk pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1998 Tentang…adalah perusahaan yang mengusahakan penyediaan listrik kepada masyarakat umum di Indonesia.

B. Latar Belakang Sengketa

Pada tanggal 28 November 1994, disepakati dua kontrak sebagai bagian dari Proyek Karaha. Kedua kontrak tersebut adalah:

1) Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/ “JOC”)

Kontrak ini menetapkan bahwa Pertamina bertanggung jawab untuk mengelola pengoperasian geothermal di dalam proyek karaha tersebut dan KBC berperan sebagai kontraktor. KBC diwajibkan untuk mengembangkan energy gheotermal di daerah proyek dan membangun, memiliki dan mengoperasikan tenaga listrik.

2) Kontrak Penjualan Energi (Energy Sales Contract/ “ESC”)

Berdasarkan kontrak ini PLN setuju untuk membeli tenaga listrik dari Pertamina yang diproduksi, dipasok, dan disediakan oleh pembangkit tenaga listrik yang dibangun oleh KBC. Sebagai kontarktor bagi Pertamina berdasarkan JOC, KBC, atas nama Pertamina dan berdasarkan ESC, berhak untuk memasok dan menjual tenaga listrik berkapasitas sampai 400 Mw kepada PLN dari Proyek Karaha.

Pada Tahun 1997 timbul krisis moneter dan menimpa Indonesia. International Monetary Fund (IMF) meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau kembali proyek-proyek pembangunan. Selain itu harus diteliti lebih lanjut, apakah pembayaran proyek dengan valuta asing US dollar masih dapat dipertahankan.

Pada tanggal 20 September 1997 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997. Berdasarkan Kepres tersebut sebanyak 75 proyek ditunda termasuk Proyek Karaha. Selanjutnya pada tanggal 1 November 1997 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1997 yang berisi perintah agar beberapa proyek yang tertunda termasuk Proyek Karaha dilanjutkan kembali. Pada tanggal 10 Januari 1998, Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dikeluarkan. Keputusan ini membatalkan kepres sebelumnya dan mengkomfirmasi penundaan Proyek Karaha.

Pertaminan telah menyetujui untuk membantu KC dalam usaha melanjutkan kembali proyek ini, akan tetapi ternyata dua minggu setelah diajukan permohonan oleh Pertamina, pihak KBC telah menyatakan berlakunya klausula “ force majeure” dan telah menghentikan pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. Pada tanggal 30 April 1998, KBC telah memberitahukan kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan suatu klaim kepada arbitrase berdasarkan JOC dan ESC.

C. Jalannya Sengketa

KBC mengajukan klaim kepada arbitrase Jenewa Swiss sebagaimana yang disepakati oleh para pihak mengenai forum yang dipilih para pihak untuk menyelesaukan sengketa dalam JOC. Pendirian KBC sebagai penggugat adahaf sebagai berikut:

- KBC menuduh bahwa tergugat melanggar kewajiban mereka membayar menurut JOC dan ESC dengan cara antara lain mencegah KBC untuk menyelesaiakan pembangunan unit-unit pembangkit listrik tenaga secara keseluruhan dengan kapsitas 400 Mw.

- KBC menyatakan tergugat berdasarkan JOC dan ESC telah menyetujui menanggung risiko tindakan pemerintah dan oleh sebab itu Kepres No. 30 Tahun 1997 dan Kepres No. 5 Tahun 1998 bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak.

Adapun KBC menuntut ganti rugi akibat pelanggaran kontrak yaitu kerugian yang termnasuk dalam pembayaran atas kerugian sebesar US$ 96.000.000 kemudian kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$ 512.500.000, selanjutnya sebagai alternative ganti rugi untuk keuntungan diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus diterima adalah US$ 437.000.000. Secara alternatif diminta pembatalan kontrak dan kerugian secara alternative dan pelaksanaan secara khusus.

Pengadilan Arbitrase Jenewa pada tanggal 18 Desember 2000 membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC skurang lebih sebesar US$ 270.000.000 yang terdiri ganti rugi atas hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan (opportunity lost) sebesar US$ 111.100.000 dan bunga 4% sejak tahun 2001 sebesar US$ 150.000.000. KBC mengajukan permohonan untuk melaksanakan putusan arbitrase di pengadilan beberapa negara di mana aset-aset Pertamina berada, kecuali di Indonesia yaitu:

- Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta U.S District Court for The Southern District Court of Texas untuk melaksanakan putusan arbitrase Jenewa;

- KBC mengajukan permohonan agar semua aset anak perusahaan Pertamina yang berada di Singapura disita termasuk Petral;

- Pada tanggal 30 Januari 2004, KBC meminta Pengadilan New York untuk menahan aset Pertamina dan Pemerintah Republik Indonesia yang besarnya hingga 1, 044 miliar dollar USA. Adapun permintaan tersebut ditolak dan hakim menetapkan agar Bank of America dan Bank of New York melepaskan kembali dana sebesar US$ 350.000.000 kepada Pemerintah RI sedangkan yang tetap ditahan adalah dana 15 rekening adjucated account di Bank of America sebesar US$ 296.000.000 untuk jaminan.

Upaya hukum yang dilakukan oleh Petrtamina adalah:

- Mengajukan penolakan terhadap keputusan Pengadilan Arbitrase Jenewa;

- Mengajukan penolakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa di pengadilan-pengadilan di negara mana KBC mengajukan permobonan pelaksanaan putusan Pengadilan Arbitrase Swiss;

- Mengajukan pembatalan putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Indonesia.

Pada tanggal 27 Agustus 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Pertamina. Putusan tersebut memerintahkan kepada tergugat atau siapapun yang dapat hak daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan pengadilan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa Swiss tanggal 18 Dsesmber 2000. Adapun putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa, Swiss dnyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.